Sunday, August 08, 2004

PERCAKAPAN RASA DAN AROMA DI TAPAL BATAS SUATU SORE

Laki-laki rasa cengkeh berkata pada perempuan, sore sebuah tapal batas, “Aku titip sawah dan ladang, yang sudah kusiram dengan darah!”Perempuan aroma sabun mandi hendak meneriakkan sesuatu,... Tidak, dia masih diam. Jemari segemetar senja, tertaut bersama tatap mataLaki-laki rasa cengkeh menunduk tak lama. Angin dan degup jantung sama-sama gelisah. Perempuan aroma sabun mandi hendak mengatakan sesuatu,... Tidak, dia masih diam. Tatap matanya dalam melubangi rasa rindu.Laki-laki rasa cengkeh berkata lagi, “Aku tidak pernah tak pulang. Hanya jalan menuju kembali sesekali terasa berliku.” Perempuan aroma sabun mandi membisikkan kemudian, ”akan aku sulut semua bintang. Agar nyala menebangi semak sepanjang jalanmu.”Laki-laki rasa cengkeh tersenyum. Kecup hangat membasahi mereka. Dari kening sampai ke kening lagi. “Jangan, akan melambas membakar belantara.”Perempuan aroma sabun mandi mendesahkan sesuatu, “Aku kirimkan cermin ke satu bintang saja. Itu rambu, laki-lakiku. Itu rambu. Jika kelip itu mengecil, datanglah mendekati.”Laki-laki rasa cengkeh memeluknya. Dekap lagi dekat. “Aku takut membangunkan naga, bumi masih harus dijaga ketenangannya. Kuizinkan kau bakar tangkai dupa. Aromanya kelak menuntunku.”

[Syam Asinar Radjam dan Pulung Amoria Kencana]
Jakarta, 24.07.2004
Aku, kau dan Dia
: SyamAR

Mengunjungi-Nya kita malam itu
Mengetuk pintunya dengan manis
: Tok! Tok ! Tok!
Apa kabar, Tuhan?

Ini aku dan imamku

Mungkin waktu itu Tuhan-pun tertawa
Aku dan kau seperti kanak-kanak tergugup di depan pintu-Nya

Kita oleh-olehi Dia sekeranjang doa
:permohonan dan permohonan dan permohonan
Boleh kan, Tuhan?

Lalu kitapun tertawa bersama
:Aku, kau dan Dia

(BuRuLi kepada kekasih, LeBul: 08.08.2004/12:41 am)


Berdua!
: SyamAR

Segala perjuangan, airmata dan keringat… Itu milik kita, sayang! Kau tak boleh lupa membaginya berdua denganku. Segala sedih dan gembira itu.

Juga setiap kesalahan bukan hanya milikmu seorang! Sebab kita semua tersusun dari kepingan-kepingan yang tak rapih. Bahkan ada bagian dari kepingan kita yang hilang…

Dan kepingmulah yang telah melengkapiku
Aku mencintaimu!

(BuRuLi kepada kekasih, LeBul: 08.08.2004)

Friday, July 23, 2004

Aku dan kawan-kawan
: Catatan Kecil BuRuLi
 
“Kalau kau memberi mereka kesempatan untuk datang dan pergi, menitip diri lalu membiarkan mereka tumbuh dan berkembang menuruti panggilan alam, itu baru kau adalah kawan sejati!”
 
Hah? Jadi bukan berarti kita yang sedari kecil tumbuh bersama dan tidak pernah saling meninggalkan hingga dewasa?
 
“Apa konsepmu tentang seorang kawan yang meninggalkan? Kawan yang tiba-tiba menemukan dunianya  sendiri yang seringkali berbeda dengan yang dulu sama-sama kalian miliki sehingga mereka harus berangkat untuk sungguh-sungguh menemukan jati diri? Berikan kesempatan itu  kalau kau sungguh-sungguh sayang mereka!”
 
Berarti satu-persatu mereka akan menghilang…
Benarkah?
Begitukah?
Haruskah?
 
“Apa sih yang sebenarnya kau sebut dengan menghilang? Ketika mereka tidak ada di depan matamu karena sedang berjuang ? Ketika mereka tidak lagi sempat berbagi kisah? Ketika mereka lupa jalan menuju rumahmu juga tanggal ulangtahunmu. Itukah?”
 
Kenyataannya?
 
“Ha ha! Sederhana saja kalau kau ingin membuktikannya! Katakan kau merindukan mereka, sebut nama mereka satu-satu dan tunggulah reaksi itu! Maka yang pergi sebagian akan kembali, yang menetap bisa jadi  bertambah erat dan… relakanlah yang hilang sebagai kenangan!”
 
Artinya?
 
“Semua ada waktunya, semua ada masanya. …”
 
Mengapa mereka berubah?
 
“Karena mereka bertumbuh. Apakah kau tidak?”
 
… … …
 
(BuRuLi, LeBul: 23. 07. 2004/ 4: 16 am) 

Ayah, dimana layangan akan kita naikkan?
Catatan Kecil BuRuLi untuk Cikal
 
Idealnya, di setiap lingkungan tempat tinggal ada lapangannya. Juga…
Idealnya, di setiap rumah kita ada halamannya. Juga…
Idealnya lagi, setiap orang seharusnya punya rumah…
Tetapi…
 
Jangankan lapangan…
Rumah untuk tinggal saja…
 
Mari kita pergi ke pantai
Tetapi ayah Dian tak punya mobil untuk mengantar Dian ke pantai
Kalau begitu kita pergi ke pantai naik bis
Tetapi ayah Mirna bahkan tak punya uang untuk mengantar Mirna pergi ke pantai naik bis
Lalu akan kita naikkan dimana layangan ini, Ayah?
Kita naikkan di atas loteng!
Tetapi tak setiap rumah ada lotengnya…
 
Bahkan tak setiap orang punya rumah, Ayah!
 
Ada kawan yang tinggal di dekat lapangan. Lapangan yang berpagar dan kawan harus membayar. Uang kawan hanya cukup untuk membayar salah satu, membeli layangan atau membayar karcis masuknya?
 
Kadang-kadang kawan bahkan tak lagi punya pilihan, uangnya hanya cukup untuk makan. Itupun kalau kawan sedang lumayan beruntung.
 
Ayah, dimana layangann ini  akan kita naikkan?
 
Simpan dulu layangan kita, sayang! Bantu ayah mengangkut sampah? Kau masih beruntung, karena sampah kau masih bisa bayar sekolah!
 
(BuRuLi, LeBul 23 Juli 2004/ 11:50 pm)
 
*Selamat hari anak, sayang! 
  
  
  

Thursday, July 22, 2004

Surat Chan Kepada ‘Ia
Sajak Syam Asinar Radjam
 
Dan angin beserta musim semi menempahnya menjadi serupa pedang yang baik
Tinggal lampion yang menunggu kini bergoyang
Mulanya darah serasa berjalan teramat lambat
Membungkus hati dengan bunga dan lembayung
 
Bakarkan lilin, sayang.
Biar jalan kita merah lagi terang
Hanya beberapa hela nafas lagi kita kan sampai!
 
Manggabesar, 21.07.04
 
 
Re:Surat Chan Kepada ‘Ia
-BuRuLi-
 
Aku menunggumu!
Menunggumu di sekitar unggun yang mengabu
Menjaganya demikian rupa hingga ia takkan sempat berhenti menyala
 
Tak hanya lilin, sayang!
Biar kusulutkan semua bintang!
 
Kutitipkan nafas terengah ini ke panduanmu
Tolong tuntun aku!
 
(BuRuLi, LeBul: 22 Juli 2004/ 1:37 am) 
  

Tuesday, July 20, 2004

Selamat Pagi, Trotsky!
 
Dari jauh aku memelukmu. Pagi yang tenang. Sudah kita katakan apa yang harus saling kita mengerti. Terimakasih karena telah menjadi sabar, telinga yang lebar dan dada yang lapang.
 
Sayang selalu,
Mimosa

Wednesday, July 14, 2004

Ada kelelawar tersesat masuk rumahku!

Hei, Drakula?! Teriakku. Padanya yang terbang. Aku sedikit ketakutan. Hii!!

Tapi siapa yang menjadi drakula kali ini? Ha ha! Brad Pitt?

Waktu itu ada kupu-kupu besar masuk ke rumahku. Seorang kawan lama yang baru pulang dari LN datang ke rumahku. Menyenangkan! Kali ini siapa yang akan datang berkunjung?

Atau siapa yang akan pergi... ?

(BuRuLi, LeBul: 14 Juli 2004)
Pada dada! Pada dada dia berada!
: ytc, engkau!

Dug dug dug

Ada apa disitu? Ada yang hidup kataku! Aku menandai sesuatu bernama kehidupan dalam setiap degupan.

Aku menandai sesuatu yang kusebut denyut. Denyut dan detak. Sesuatu yang berirama dan tak memiliki jeda!

Aku memiliki cinta! Kataku.. Pada dada! Pada dada dia berada!

Sesuatu yang hidup, memberi kehidupan, berdegup dan berdetak, berirama pada dada tiada jeda?

Ia menciptakan ketenangan. Ketenangan sekaligus ketakutan.
Ketakutan atas sebuah rasa bernama... kehilangan!

Aku tidak ingin kehilangan! Kataku...

Kau tersenyum. Katamu, "Bersamaku engkau pernah dan sedang dan akan! Maka jangan khawatir, sayang!"

Tapi jangan marah kalau aku jadi rewel begitu...

Kau tahu? Musim semi kemudian musim gugur, bunga yang berkembang kemudian layu, ulat pada pokok-pokok kayu...

Tapi alam punya keteraturannya sendiri! Musim semi setelah musim beku, tunas-tunas bunga yang tumbuh... ulat yang menjelma kupu-kupu?

Aku juga punya cinta! Katamu... Pada dada! Pada dada dia berada! Pada tangis dan tawa, saat ada dan tiada, bersama harapan dan cita-cita?

Aku telah melamarmu. TIdakkah kau percaya?

Dicintai dan mencintai. Aku sedang merasakan keajaiban luar biasa. Kau pernah bepergian dengan perahu? Rasanya sangat mirip seperti itu. Diayun ombak mengalun. Naik dan turun. Sedikit sakit kepala tapi sebuah perjalanan yang menyenangkan.

Aku tidak ingin berhenti! Kataku...

Siapa yang ingin? Katamu. sepertinya sering kudengar kau menarik nafas panjang saat kau berusaha meyakinkan aku.

Coba bayangkan; kita akan melewati masa paling panjang paling menyenangkan maupun tidak menyenangkan bersama.
Menjadi sesuatu yang disebut tua dengan tidak harus sendirian.

Aku tersenyum bila membayangkanmu. Kuharap kau pun punya senyum yang sama saat kau membayangkan kita.

Maukah engkau tak berhenti meyakinkan aku? Rengekku.

Kau tersenyum, seperti belajar memahami aku.

(BuRuLi, LeBul: 14 juli 2004)


DUA SURAT CINTA UNTUK TUHAN
Syam Asinar Radjam & bungarumputliar
-------------------------------------------------------

TUHAN, BUAT AKU RINDU KAMPUNG LAMAN!

Tuhan,…
Buat aku rindu kampung laman,
Berumah rakit hanyut
Berhutan seperti kena kusta

Tidak, kataMu
Masalah kecil jaga sendiri

Tuhan,…
Buat aku rindu kampung laman
Berlampu kedip kurang minyak
Pipa panjang menghisapnya seperti naga
Dikirim entah kemana

Tidak, KataMu
Tak butuh rindu untuk itu

Tuhan,…!
Buat aku rindu kampung laman,
Pekasam-pekasam dari seluang yang mengapung dibajui amoniak

Tidak!!!
Jangan kenapa tidak memesan sarden!

Tuhan buat aku rindu kampung laman,
Ada banyak manis tebu,
Hutan-hutan kopi disekujur bukit
Pemetik teh yang riang tersipu digoda Dempo
Sial, membeli secangkir kopi aku harus mengemis

Tidak!
Makanya usaha. Aku tidak akan mengubahmu kecuali engkau melakukannya.

….. Grrrrrrrrr! Tuhan buatkan aku secangkir rindu. Biar kita seruput bersama!


[Syam Asinar Radjam; LeBul, 11.07.2004]

* * *

Tolong aku, Tuhan! Gawat Darurat!

Sungguh, Tuhan!
Tolong aku…
Apel merah di atas meja
Bulan puasa!

(BuRuLi, LeBul 11 Juli 2004)




Thursday, July 01, 2004

Kutepuk diriku sendiri, kudekap lalu kuciumi!
: Hepi Besde!

Selamat ulang tahun!
Dinihari yang sepi
Waktu yang hampir terlupakan

Sungguh hari yang nyaris terlupakan!

Kutepuk diriku sendiri, memberinya selamat, mendekapnya demikian erat di sudut paling hangat di atas dipan, lalu kucium genggaman tanganku sendiri, sembari berdoa

: Tuhan,
Aku tidak ingin sendirian!
Sungguh tidak ingin sendirian!

Tiba-tiba aku merindukan air, air selain airmataku yang mengalir. Dengan itu kubasuh muka. Segar dan basah. Ingin kuhirup lembabnya sebagai harapan.

Aku telah menangis. Sebenarnya hendak pula berteriak. Tapi kupeluk diriku sendiri. Kutenangkan ia sedemikian rupa.

Di genggam secangkir teh hangat. Kuhirup uapnya yang manis. Kututup mataku. Demikian hari telah berwarna biru. Kenapa harus? Rintihku.

Tiba-tiba aku tersentak. Teringat aku akan sesuatu
Kata Tuhan

: Kau merasa sendirian?
Kau lupa tentang aku?
Kau lupa tentang aku!

(BuRuLi, LeBul: 01.07. 2004)

Wednesday, June 30, 2004

Pernahkah Engkau Merasa Tercekik, Tanpa Tangan Di Lehermu?


Ada yang mendenyut mirip sakit
Seperti rasa kehilangan yang,
Entah…

Aku tidak sedang menghadapi perpisahan!

Ada apa sebenarnya?

Seperti mengenali purnama tanpa indah, melati tanpa wangi
Aku merasa nyeri
Disini…

Ada apa sebenarnya?

Aku tidak sedang menghadapi perpisahan, kan?

(BuRuLi, LeBul: 30 Juni 2004)

Thursday, April 29, 2004

Bungaku Rumput Liar
sajak syam asinar radjam

Kalau senja mengetuk pintu hari. Dengar bungaku bersendawa. Matahari tertawa bersamanya sedari pagi. Mengenyangkan, katanya.

Kalau matahari hendak pergi, aku membalurkan air putih hingga segar sampai akarnya. Bungaku bersendawa lagi. Besok aku minta matahari lagi, katanya.

Kalau ada bintang, satu, dua, atau banyak sekalian, bungaku malu-malu membersihkan debu dan keping-keping yang layu. Besok aku berikan kuntum yang paling semerbak kepada pagi katanya.

Kalau dia hendak tidur, bungaku itu berdoa. Tuhan, katanya, Jangan ada yang memindahkannya ke vas bunga.

Kalau sudah begitu, biasanya aku mengecupnya. Kamu sudah di tamanku, bungaku rumput liar. Mmmwaah,...
No Where To Run, Hua ha ha
Sajak Syam Asinar Radjam

: bungarumputliar

Hari ini kau mendapati satu paket pos
besar seperti lemari
gembira, menebak-nebak, kau buka
"Ah, kau rupanya," Katamu kecewa
Aku di dalamnya, bukan sebuah boneka beruang
Kau berlari mengejar bis surat tepi pagar
; mencari obat penenang?
Ha ha, aku mengintipmu menujuku
aku di dalam amplop dalam bis surat, sayang.

(Ponpes At-Ta'ibin, 28 pagi april 2004)

Tuesday, April 27, 2004

Prasasti (1)
: sejarah

Di hatimu (hatiku) prasasti.
Kenangan terukir.
Jelas.
Pada batu.
Keras!

Lantas hujan melentik pias-pias merencanakan penghiatan bersama waktu. Kita gempur saja!

(BuRuLi, LeBul: 26 April 2004)


Prasasti (2)
: sejarah

Katamu sejarah adalah keniscayaan. Barangkali. Demikian adanya!.
Glek! Hiks!
Pernah sejarah kujadikan cerita sebelum tidur.
Benar.
Aku mimpi ular!

Hiya!!

(BuRuLi, LeBul: 26.04.2004)


Prasasti (3)
: sejarah

Boleh aku letakkan disini?

Kau menunjuk. Sebuah titik. Kecil saja.
Itu apa?
Laci! Jawabmu.

O.
Lantas?

Kita kunci!

(BuRuLi, LeBul: 26.04.2004)


Aku Cinta Matahari! Kata Bunga.
: Trots

Kalau siang ia matahari, kalau malam ia menjelma bintang. Begitulah! Di taman ia juga kupu-kupu. Di telingaku ia lagu-lagu. Di mataku ia cahaya. Di hatiku ia cinta!

(BuRuLi, LeBul: 26.04.2004)


Aku Cinta Kupu-kupu! Kata Bunga
: Trots

Di taman ia adalah kupu-kupu. Kemarin ia hinggap di kelopakku. Mengayun! Di putikku dibisikkannya cerita, tentang pergantian musim nan ceria!

(BuRuLi, LeBul: 26.04.2004)


Aku Cinta Musim Semi! Kata Bunga
: Trots

La la la! Aku cinta musim semi! Demikian ceria! Demikian ceria! Di musim semi matahari demikian hangat. Aku bertunas demikian pesat. Harum madu. Lebah-lebah menari.

(BuRuLi, LeBul: 26.04.2004)


Thursday, April 22, 2004

Sajak Buat Dyah
: kpd bayi-bayi

Dyah Nyiur ananda sayang
Engkau lahir di belantara rimba kehidupan
Maka dekatlah pada matahari
Agar terang selalu cahaya hati

Jangan takut, nak!
Demikian ayah dan bunda pesankan
Tak ada yang lebih indah daripada kehidupan
Meski senantiasa kau hias dengan tangisan
Biarkan saja, nak!
Itu semua rencana Tuhan
Baik-baiklah engkau pada-Nya
Buka telinga bagi firman-Nya
Ketuklah pintu setiap kau rindu
Ia selalu ada untukmu

Kau lihat itu di sana?
Itu adalah titian
Titian panjang yang akan kau lewati
Jaman membuatnya demikian licin
Maukan engkau berhati-hati?
Tergelincir itu demikian sakitnya
Dan akan menimbulkan bekas luka.
Tak usahlah, nak…
Tak usah mencoba yang sia-sia
Dahulu kami pernah kehilangan peta
Jangan kau turut jejak yang tersisa

Demikianlah pesan ayah dan bunda, nak!
Semoga tak sia-sia!

(Bunda Nyiur, LeBul: 22 April 2004)



Slurperry Cartoony Horrayy!!
: My world!

Yup Yup Yup!

I don wanna get sad anymore…Nope! Uh! Uh!
It’s time to jump and run under the shining sun
You know?
I ever cry but not today
Not now
Not anymore!
Uh! Uh!

Slurperry Cartoony Horrayy!!
I jump to you
You jump to me
Let’s jump together just you and me
Say yes! And join me!
See you on Sesame!

Spring time!
Just feel like the spring time
Or summer summer summer
Everyday are valentine
No time for winter!

Next time I’ll visit 100 Acre Wood
I’ll bring Elmo around the neighbourhood
Meet Christopher Robin And Winnie The Pooh
Piglet, Tigger Kangga and Roo
Also Owl and Eeyore Too

Let’s watch Rabbit and Oscar
They will Grouchy Happily Ever After!
Gosh! I Love my world
Being here
With you
Together!

No time for sadness
Not here
Not now
Not forever
Uh! Uh!

(BuRuLi de Pooh, LeBul: 22 April 2004)

Wednesday, April 21, 2004

Kembali Pulang Ke Taman!
: BuRuLi de Pooh

Spada!

Boleh aku main lagi? Disini? Sekarang? Hari ini?
Aku rindu pada padamu! Bangku-bangku kayu!

Satu…
Dua…
Tiga…
Hap!
Meluncuuurrr!!!!

Sudah lama aku tak merasa senang. Berlarian di luas padang. Barangkali tak seluas dirimu dulu. Tapi cukuplah bagiku.

Aku pulaaangggg!!!

Kembali berlarian dan berlompatan. Bersiul bertepuk tangan. Sampai aku lupa pada rasa kesepian.

Wuiiihhh… Kupu-kupu!
Kupu-kupu hinggap di jariku!
Wuiiihhh…Lucu!
Kupu kecil sayap ungu!

Aku, kaki kecil dan langkahku. Hatiku bernyanyi. Mataku mengkamera! Ligat merekam semuanya! Uh, senangnya!

Aku kembali! Kembali lagi!
Hei, apakah kelinci kecil itu masih tinggal disini? Di kolam tadi kulihat kura-kura. Kura-kura tua. Masih kura-kura yang sama!

(BuRuLi, LeBul: 20 April 2004)



Mari menghadiahi diri sendiri!
: piglet dan pooh

Tak perlulah kita menciumi kaca! Ha ha ha!
Cukup tepuk bahumu saja. Beri penghargaan pada pemiliknya. Good job! Well done! Kau telah berusaha dan layak mendapatkan pujian!

Hore!
Kita telah melewati hari ini dengan baik sekali. Tentu besok bisa! Dan besoknya dan besoknya juga. Lagi dan lagi dan terus begitu. Tepuk lagi bahumu tiga kali! Tap! Tap! Tap! Hebat!

Pesanlah serangkai bunga. Rangkaian kecil saja. Alamatkan ke rumah kita. Kepada yang tercinta: “Saya” Lho…Buat diri sendiri, mbak? Ya. Buat siapa lagi? Kok pesen sendiri, kirim ke rumah sendiri? Memangnya kenapa? Kalau bukan saya yang cinta kepada saya lalu siapa? Ha ha ha!

Great!
Siapa lagi yang paling peduli pada diri ini kecuali diri sendiri?

Salam sayang:
Dari aku
Kepadaku!

(BuRuLi, LeBul: 20 April 2004)



Selamat datang, Anjing!
: Didot de Mopi

Guk!
Sini. Ini tulang. Duduklah. O, kau mau roti juga? Baik.
Nih!

Guk!
Eh…
Duduk yang baik. Jangan melonjak begitu. Katanya mau makan. Duduk tenang-tenang. Yup. Salam!

Guk!
Heit! Heit! Ha ha ha… geli-geli… geli, deh kalau kau jilati begini.

Guk!
Hm…
Selamat datang, anjing! Selamat datang. Ini sekarang rumahmu. Ya. Disini. Rumah kita bersama.

Guk!
Ya… Ya…
Itu adik, itu kakak, itu papa dan itu mama!

Guk!
Adduh, Mopi! Ha ha ha.
Baik-baik sama dia, Mopi. Itu bibi. Kalau kau tak mau baik nanti bisa kurang gizi!

Guk!
Kaing… kaing… kaing…
Hiks. Yah, Mopi… kau kangen indukmu?

(BuRuLi, LeBul: 20 april 2004)


Tapi darimana datangnya kesedihan?

Tidak tau!

Tiba-tiba saja rasanya sudah begitu. Segigit semut sesuatu nyerikan hati tetapi apa?

Ya.
Apa.

Barangkali ternyata adalah aku.
Aku yang sudah sakiti kamu!

(BuRuLi, LeBul: 20 April 2004)

* Sometimes sadness just come and you can’t control it. Believe me.







Monday, April 19, 2004

Ini Akan Menjadi Sebuah Perjalanan Raya!
:Catatan Kecil BuRuLi

K i t a c a t a t i t u !

Tidaklah salah kalau para ibu dan ayah kita menjerit mendengar rencana perjalanan kita. Ini adalah sebuah petualangan besar. Jangan main-main! Kata mereka. Betapa itu benar, kawan!

Bisa kau bayangkan? Ibarat jalan raya Anyer- Panarukan yang menjengkali panjang pulau Jawa, sepanjang itulah barangkali sebuah terowongan di hadapan kita. Sekarang. Saat ini. Cahaya memang menanti di ujungnya kalau kita mau bersabar hati melintasinya perlahan-lahan. Dengan mengendarai kendaraan darat yang melaju pada kecepatan rata-rata kendaraan angkutan penumpang kita sebisa mungkin berhati-hati sebab ngebut dapat mengakibatkan kecelakaan dan akhirnya kematian.

Bukankah kita tak ingin tiba sebagai jenazah di kota tujuan, menggantungkan nasib kepada para pengusung dan berharap mereka berlapang dada menopang sekaligus mendoakan kita!

Seandainya kita adalah musafir maka kita harus berusaha menjadi para musafir cerdas yang tak gampang tertipu oleh sekedar fatamorgana oase di kejauhan. Batapa perjalanan ini akan menjadi perjalanan yang menantang sekaligus menegangkan. Sebuah petualangan yang layak diperhitungkan sebagai perbuatan bertaruh nyawa dalam kehidupan kita.

Menakutkan?
Aha. Kita mulai mencium bau ketegangan dalam wacana ini, bukan? Tapi bukan kita namanya kalau tak tergoda untuk menaklukan segala ketakutan dalam dada. Tantangan yang memompa adrenalin. Rasa ingin tahu yang membusa. Bertemu apa kita nanti dalam perjalanan keujung terowongan sana?

Barangkali saja ada ular besar sedang asik tidur nyenyak di sebelah mata kaki kita, atau ular kecil yang justru demikian berbisa dan hanya menyisakan waktu untuk menyebut nama “Mama!” setelah gigitan kecil pertamanya. Tik! Buyar segala rencana.

Tapi kita melihat cahaya di ujung sebelah sana…

Semakin menakutkan?
Ya, tapi juga semakin menarik saja. Labih-lebih ketika kita sudah mendengar tentang hamparan sebuah telaga di ujung sana tepat di bawah cahaya yang terang jingga. Energimu tiba-tiba seperti akan muncrat dari puncak kepala. Oh!

Kesimpulannya sederhana saja! Kata mereka. Pelajari ilmu navigasi! Jangan pernah malas selidiki segala hal dan segala segi. Lengkapi juga perbekalanmu!

Perbekalan!
I n i K a t a K u n c i !

Apa saja yang perlu kita sediakan?
Masalahnya adalah “permasalahan yang sebenarnya” justru baru akan dimulai setelah kita tiba di ujung terowongan yang bercahaya jingga indah itu. Tugas kita disana adalah membangun peradaban baru. Sebagai sebuah tim yang solid sudah selayaknya kita bekerjasama membuat rencana mulai dari penghitungan anggaran sampai dengan memeriksa cetak birunya. Bukan pekerjaan yang sederhana sebenarnya. Tapi bukan pula sebuah pekerjaan yang mustahil.

Siap?
Sekarang mari kita periksa segala persiapan awal kita. Alurnya adalah begini:

1. Arah perjalanan kita sudah jelas: Ujung Terowongan
2. Petunjuk perjalanan awal: Cahaya Jingga
3. Tempat pemberhentian awal disana: Tepian Telaga
4. Tujuan Perjalanan: Membangun Peradaban Baru

Hal-hal yang dibutuhkan selanjutnya adalah:

1. Biaya perjalanan : Ongkos-ongkos kendaraan dan karcis-karcis pintu masuk serta sedikit kas awal.
2. Perbekalan makanan : Makanan pokok, lauk sekedarnya dan air.
3. Perbekalan alat : Lampu, peta, kompas, survival kit dan P3K.

Nah,
Sekarang kita menjadi tahu apa yang harus kita kerjakan. Mengenai tabel waktu, bukankah sudah kita sepakati sejak awal? Maka yang diperlukan adalah disiplin agar kita tidak panik pada hari-hari menjelang keberangkatan. Deadline adalah motivasi. Membiasakan pengecekan pada persiapan masing-masing anggota tim. Sungguh ini bukan proyek kecil milik pribadi. Kita paham itu!

Ok, tim!
Mari kita berjuang! Pada hari itu kulihat engkau lumayan kepayahan. Biar kubantu sedikit dan semoga engkau tak keberatan. Barangkali esok akulah yang akan membutuhkan bantuan. Kupikir perjalanan ini akan sangatlah menyenangkan mengingat langkah kita yang selalu diiringi dengan siulan-siulan…

(BuRuLi, LeBul: 17. 04. 2004)

*Selamat berjuang, semua tim! Juga tim kita, Candy!

Thursday, April 15, 2004

Macet nih pena?
: Chan

Sret…
Krek! Krek!
Lho, kok?

Wah!
Dia kehabisan kata
Tintanya terhenti
Tinggal jantungnya yang terdengar
:
Dug!
Dug!
Dug!

(BuRuLi, RS. Cikini: 15.04.2004)
Coba Bayangkan Seandainya Engkau Adalah Perempuan Itu!
: Kartini

Ia menangis. Demikian kulihat airmatanya membening di jendela kecil wajahnya. Tak mengalir. Ya. Tak mengalir lagi. Sudah biasa, demikian katanya.

Hati adalah segumpal daging. Ada nyawa disana. Kau tak perlu pisau untuk menyakitinya. Sret! Tak usah kau bayangkan darah. Lihat saja cahaya luka pada wajah.

Jdig! Jdig! Jdig!
Ada yang memukul-mukul. Dia bilang terasa nyeri. Disini. Di dada ini. Sesuatu yang bernama impian. Jenis mahluk yang tak pernah belajar sopan. Tanpa permisi. Memaksa diri terpatri. Sialan!

Jdig! Jdig! Jdig!

Mereka telah mencuri aku!
Teriaknya.
Mereka telah mencuri aku!

(BuRuLi, LeBul: 15.04.2004)


Lalu Kenapa Engkau Menangis?
:perempuan

Kau sedih?

Tidak.
Kenapa bertanya?

Lalu?

Apanya yang lalu?

Kenapa kau terdiam?

Kenapa tidak?


Kenapa kau menangis?

K…

(BuRuLi, LeBul: 15 April 2004)

Tuesday, April 06, 2004

ARGH!!!

: Chan

Semuanya mulai berebut bicara dan berteriak. Sejak ranting di pohon cemara sampai kucing yang tadinya tidur di bawah meja. Ada apa?

Mereka panik melihat sebentuk mahluk bernama cinta yang merah menyala mulai merayap menyelidiki setiap sudut ruang dan waktu bernama:

K I T A

Mereka ketakutan. Demikian takutnya sampai kulihat gorden di ruang tamu yang bergetaran disangkut tangan seseorang yang sedang bersembunyi di belakang sana. Ah. Kenapa?

Apa mereka kira kita akan melompat kedalam api, membakar diri kita sampai mati dan tak peduli pada rasa sakit yang mungkin kita hadapi?

Kita memang butuh ruang, butuh waktu, maka biarkanlah semuanya berlangsung seperti itu. Tumbuh, berkembang, menunggu tunas bermekaran. Tak ada yang mugkin instan!

Partitur di tebar, konser digelar. Ini sebuah kolaborasi akbar! Dengan ketukan yang teratur maka terciptalah alur. Symphony. Di panggung kecil itu kita kan menari!

(BuRuLi, LeBul: 07.04.2004)
Mari kita memaki! Dan jadilah kita trendy!

Sekarang musim memaki. Pohon makian telah ditanam di halaman rumah kita masing-masing. Daunnya lebat. Sekilas seperti beringin yang hijau menyejukkan. Uh!

Bau. Sebab setiap lembar daun yang jatuh mengeluarkan getah kebencian dan raungan menyakitkan pendengaran. Daftar saja semuanya: Isi got, isi celana, kebun binatang…

Kalau kau tidak memaki, kau tidak akan dikenal. Anak baik-baik selalu lebih tidak menarik. Ini kenyataan.

Nah mari kita menjadi pengikut setan. Ramaikan isi neraka. Bikin konser disana. JREENGGG!!!

-BuRuLi. Ngambek. 2003-

*Teringat tulisan lama gara-gara PEMILU, juga makianmu! Ha ha!


Eksibisionis!

: sebuah catatan kecil BuRuLi

Jangan menjadi eksibisionis! Teriak ibumu, bapakmu, kakak dan adikmu bahkan tetanggamu. Eksibisionis yang mengumbar ceria di depan orang -orang yang sedang lupa apa itu bahagia. Nanti kau dikutuki. Di sumpah-serapahi. Rasakan! Kalau kau besok tak merasakan bahagia lagi!

Idih! Kenapa, sih?

Seperti kita yang meski saatnya sedang tidak puasa hampir selalu tak bisa makan dengan tenang disaat bulan puasa. Wah. Sebenarnya kita kan tidak lantas menunjuk-nunjukkan. Kadang kita sudah duduk manis di wilayah meja makan. Memang tempatnya. Masih salah juga?

Kalau kau sedang jatuh cinta, lalu matamu berpendar ceria indah seperti bintang yang menggantung di atap surga, apa itu salah?

Kenapa jadi salah?
Dimana salahnya?

Kita tak sedang memamerkan baju baru di depan orang-orang yang tak sanggup punya baju!

Seorang kanak-kanak baru saja menyelesaikan gambar ikan mas kokinya. Warna-warni. Sangat ceria. Jangan kau bayangkan sebagai sebuah gambar sempurna sebagaimana guratan seorang dewasa. Ia hanya mengguratkan warna, kemudian meneriakkan judul “gambarnya” :

“INI GAMBAR IKAN MAS KOKI SAYA!”

Seandainya kau tak punya keberanian sebesar dia untuk memamerkan sebuah karya, maka diamlah dan duduklah manis tanpa mengganggu kebahagiaanya. Ia cuma kanak-kanak, yang selalu mudah untuk menjadi riang dengan sendirinya.

Kenapa kita tak mulai belajar turut berbahagia atas kebahagiaan orang-orang di sekitar kita? Memberi mereka doa agar kebahagiaan itu selalu ada dan semoga menular pula ke sekelilingnya.

Membayar tawa dengan tawa, pelukan dengan pelukan, tangan-tangan yang selalu bergandengan. Selamat! Selamat atas kebahagiaanmu. Maukah kau turut berdoa buatku? Agar aku bisa seberuntung kamu?

Manis sekali!

(BuRuLi, LeBul: 06.04.2004)


Surat Mimosa Kepada Matahari
(1)

Engkau sedang pergi. Tak ada kau bersinar disini, kotaku menjadi malam. Sepi. Kau sedang memenuhi janji menyinari kota yang lain sebagai pagi .Disana katamu langit demikian biru. Suatu kali barangkali aku mau tinggal disitu. Tentu kataku. Kita tinggal menunggu angin agar aku segera dapat menuju.

Aku tau, kau menyukai tugasmu. Di kota itu merekapun membutuhkan cahayamu. Demikian lama mereka telah tengadah, merindu kau demikian ruah. Maka engkau pun pamit. Beberapa jam ini kau akan pergi. Bersinar di lain belahan bumi. Dan segera kembali setelah beberapa jam lagi. Baiklah. Aku mengerti. Maka waktu itu kuucapkan padamu:
“ Selamat jalan, Matahari!” Sendirian aku mengantarmu. Di atas bukit langit demikian jingga. Kusebut sebagai senja.

(BuRuLi, LeBul: 05.04.2004)

Monday, April 05, 2004

Hari-Hari Pertama

: dari dan kepada BuRuLi

Begitulah!

Selalu begitu!

Hari-hari pertama akan selalu menampilkan tubuh gemetaran. Ha ha! Perhatikan saja dirimu baik-baik setiap kau harus menghadapi hari-hari pertamamu

:

Hari pertama kau masuk sekolah.
Hari pertama kau menjadi penjelajah.
Hari pertama kau menstruasi
Hari pertama kau mendapatkan kekasih

Hidup, setiap awalnya adalah pertanyaan. Gumpalan-gumpalan informasi yang minta diterjemahkan. Sedang apa kita?

Ya.
Sedang apa.
Mau kemana.
Kiri, kanan, lurus, berbelokan…

Kita ketakutan.

Kita semua merasakan :

Ada tikungan di depan sana. Ada jurang disisinya. Semua bisa terjun kedalamnya. Kita bisa hancur dan terbunuh semuanya. Begitulah.

Kita adalah manusia.
Cuma manusia.
Itu saja.

Kemudian kita mencoba menghadapinya. Mencoba untuk tidak asal saja mecurigai semuanya. Barangkali kemarin kita telah berbuat salah, tapi tidak hari ini. Tidak akan lagi. Ya, tidak akan lagi.

Tapi aku masih gemetar…

Kau kira mereka tidak?
SAMA SAJA!

Tidak akan mudah bagimu. Juga tidak bagi mereka. Setiap pengalaman pertama adalah menakjubkan. Dan akan menjadi kenangan. Benar bukan?

Tuhan sayang,
Beri aku keberanian…

Tap! Tap! Tap!

Aku mendengar langkahku. Kakiku. Menderak lantai kayu yang tertabuh hentakan sepatu.

Tap! Tap! Tap!

Aku harus melangkah. Harus! Jangan takut lagi! Jangan ragu lagi!

Tap! Tap! Tap!

Kamu bisa, sayang!
Rayuku.
Pada diriku.

(BuRuLi, LeBul: 05.04.2004/ 03:55 am)

*My Smurf, Aku sedang berusaha tenang, berharap semuanya baik-baik saja. Berharap kau baik-baik saja. Belajar mempercayaimu dan diriku sendiri. Belajar mempercayai-Nya!

Aduh !
: Tuhan

Kok?
Dug .. Dug.. Dug…
Ada yang menjedug-jedug.
Disini,
Di dadaku.

Malam demikian pengap.
Udara begitu jauh.
Barangkali begitu…

Dug..Dug..Dug…

Tiba-tiba aku begitu ketakutan.
Ingin berlari menggedor pintu Tuhan
: O, TOLONG AKU!

Ada perasan.
Tiba-tiba menerkam.
Seperti singa!
Seperti singa!

(BuRuLi, LeBul: 05. 04. 2004/ 03:13 am)
Sajak Menunggu Kakak Di Ujung Senja
: Syam

Aku menunggu kakak di ujung senja. Senja yang kubuat sendiri. Kujinggai saja langit biru pagi!. Supaya cepat berlalu hari. Hari ini, esok, lusa… segeralah berlari!

Aku menunggu kakak di ujung senja. Kata kawanku: Hati-hati! Nanti masuk angin. Jangan khawatir, sudah kukenakan jaket dan topi. Juga ada secangkir kopi.

Aku menunggu kakak di ujung senja. Menunggu bersama sekantung gula-gula yang engkau suka. Hei! jangan lupa gosok gigimu nanti, ya?!

Aku menunggu kakak di ujung senja. Melipat kapal kertas seperti yang kubaca dalam cerita. Di dalamnya juga kutuliskan surat, lalu kuterbanglayangkan ke Sumatera.

Wush!
Disini tadi sempat badai…
Akankah sampai?

(BuRuLi: LeBul: 4 April 2004)

Thursday, April 01, 2004

Sajak Puteri Malu Menunggu
: Chan

Merunduklah puteri malu
Ada sesuatu menyentuh rindu
Mengkristal ia gigil membeku
Ups!
Kau tertusuk duriku?

(BuRuLi, Blok M: 20 Maret 2004)


Kepada Pohon Apelku
: Mei

Ijinkanlah aku untuk selalu bermanja padamu , pada dahan-dahanmu kutemukan madu!

Peluk Sayang Selalu!
Pooh
(Lebul, 1 April 2004)


Maret

Akhir Maret
Surya kembali bercahya lagi
bahkan ia bekerja lebih lama

Burung2 bernyanyi sejak subuh
menarik perhatian sang jantan
ato kebalikan
beberapa burung jantan
bernyanyi untuk menarik burung betina

Ah sudahlah buat apa membedakan jantan dan betina
masing2 membutuhkan pasangan hidup
ato sekedar perkawinan

bercengkrama di bulan Maret
bersenggama di bulan April
bertelur di bulan Mei
Menetas di bulan Juni
Merawat anak2 di bulan Juli
Belajar terbang di bulan Agustus
Mulai mencari makan sendiri di bulan September
Dan selesailah tugas dua sejoli (terkadang hanya ibu) burung tadi pada awal
musim dingin

Dan selanjutnya tidur panjang pada musim dingin
menunggu musim berahi selanjutnya
Begitu kata Profesor pakar Burung

Ah Tapi itu kan burung......

Tentunya primata lebih rumit ya kan

Ah tapi sama saja
Maret tetap Maret
musim berahi dimulai.........

Bukan sekedar nyanyi "if my life is for rent"
tapi hanya menikmati mentari di akhir Maret

Bejo

Selamat buat mbak Pulung smoga segala rencananya berjalan lancar........Amiiiin....Amiiin.......( salam kenal dari Chan, Jo!)
(April 2004)

Monday, March 22, 2004

Akulah perempuan bugil itu!
: Chan

Ha ha!
Tak sempat kukenakan kutang bahkan celana untuk membuat sesuatu tak sedemikian kentara!
Demikianlah. Bila kau dapati kurap atau panu.
Tapi benar katamu
:Tak ada tato disitu.

Aku sempat panik. Seperti perempuan yang lupa memoleskan lipstik. Membayangkanmu menggerayangiku dengan matamu. Sederet ungu tanda lahirku. Beberapa gurat bekas luka masa lalu. Itulah aku.

Itulah perempuan yang sedang bersamamu. Bersamanya sedang kau kumpulkan bata dan kayu. Kita akan mambangun rumah. Lengkap dengan kebun bunga dan buah. Anak-anak yang berlarian diantaranya.

Rasanya ingin kucacah waktu segera!

(BuRuLi, LeBul: 22. Maret 2004)

Thursday, March 11, 2004

Sajak Perkawinan buat Ari dan Arwan

Bawang merah bawang putih
Jahe sereh salam laos
Lada garam gula kelapa?

Merah mawar
Jingga senja
Karena kawan lantas cinta
Jadi kawin berkeluarga

Nasi rawon rujak cingur
Jangung bakar dan bajigur
Semoga selamat dan panjang umur
Hidup aman tentram dan makmur!

Salam sayang selalu
BuRuLi
Lebul, 11 Maret 2004

Monday, March 08, 2004

Surat-Surat Mimosa Kepada Chan-Chan
:

(1)
Chan Chan
Adakah cara
Mengahapuskan Senin sebelum Selasa?

(BuRuLi, LeBul: 08.03.2004)


(2)
Chan Chan
Benarkah impian mengotori bulan?


(3)
Chan Chan
Impian seperti perman karet
Meletup kemudian lengket


(4)
Chan Chan
Aku ketapel bulan
Biar jatuh impian


(5)
Chan Chan
Mari kita duduk tenang
Semua tinggal Tugas Tuhan
Biar Ia selesaikan


(6)
Chan Chan
Kau sungguh ingin pulang, bukan?

(BuRuLi, LeBul: 10 Maret 2004)


(7)
Chan Chan,
Katamu itu sepiring puding
Bukan surat cinta!

Tidak apa-apa


(8)
Chan Chan,
Kau peringatkan aku
Tentang kegelisahan
Menggenang dalam hujan

(9)
Chan Chan,
Catatanmu jatuh tertinggal

: “ Aku benci ritual!”

(10)
Chan Chan,
Aku suka kopi!

Hangatkanlah aku
Dengan kopimu. Nanti.

(11)
Chan Chan,
Kubungkuskan suaraku sebagai bekalmu.

(12)
Chan Chan,
Ikuti saja kemana hati membawamu.

(Ini sebuah kutipan! Judul sebuah cerita)

(13)
Chan Chan,
Bahgaimana kalau kukatakan
: Aku telah kau jinakkan?

(pinjam kata dari Little Prince)

(14)
Chan Chan,
Rindukah engkau menjadi liar?

* no 7-14
(BuRuLi, LeBul: 12 Maret 2004)

(15)
Chan Chan,
Tanam saja kerinduan sebagai benih dalam taman.
Supaya tumbuh ia jadi bunga!

(16)
Chan Chan,
Titip pesan buat bintang
: Jangan pernah bosan hiasi malam

(17)
Chan Chan
I smurf you!
Smurf you so much!

(pinjam kata dari “Smurf” )

* no 15-17
(BuRuLi, Lebul: dinihari 18 Maret 2004)









Thursday, March 04, 2004

Little Missy Terbanglah Tinggi!
:MIS

Little Missy beningmu mengalir
Tersekat di rongga tak sempat kubaca
Mata perih
Merah segala

Berangkatlah engkau Little Missy!
Terbanglah engkau tinggi
Tinggalkan saja selembar bulumu disini
Bila kau ingat pulang kembali?

Barangkali padi telah menguning
Bunga merekah berubah buah
Kau akan datang mengikut angin
Di lembah biasa aku menghadang

Entah...
Disana akan terjadi perayaan
Ataukah penguburan?

Percayakan saja arah kita pada Maha Cahaya!
Maha Penentu Segala Cuaca!

(BuRuLi,LeBul:04.03.2004)

Monday, March 01, 2004

Syam! Asinar! Sekarang Maret 2004!!

Syam! Asinar!
Akhirnya kau keluar!. Seperti serangga mengerik diantara tanah bekas cangkulan. Ha ha. Aku mencium bau kerinduan. Wangi. Seperti Bu Siti yang habis mandi di kali.

Selamat malam, kawan!. Kami Tri Masketir, datang naik kereta jelmaan semangka milik Cinderella.

Tiga ekor tikus!

Lalu jam 12. Segera engkau bergegas. Sepatu kaca ukuran kurcaci. Pecah menggores jemari lelaki.

Syam! Asinar!
Kau pulang. Wajahmu adalah peta. Peta buta Kepulauan Indonesia.

*Sebuah catatan tentang kunjungan seorang kawan

(BuRuLi, LeBul: 2 Maret 2004)
Subject: A Resigning Letter

Attention to: Y O U

It's done
I am done
In my memory stick
You are a beautiful spot of a jpg. pic

Thank You.

Wishing all the best
For all

Was a love,
- I -

1 Maret 2004

Tuesday, February 24, 2004

Bahaya Gigitan Kampret
: guys!

Kampret dapat menyebarkan kegembiraan
Kegilaan
kemudian ketagihan!

(BuRuLi, LeBul: 23.02.2004)



Episode Yang Sudah Selesai
: Casper 2001

Pernah engkau temukan aku dalam sebuah keranjang sayuran. Bersama tomat, kelapa, wortel dan bayam. Katamu:

“ Perempuan! Berenanglah engkau dalam santan. Untuk sarapan pagi. Atau ganjal perut dini hari.”

Aku tertawa. O, ya? Apa kau akan suka? Tidak percaya! Kupikir akan percuma saja.

Kau diam. Kelelahan. Ingatanmu melayang pada ayam dan daging untuk rendang. Kau hampir lupa membelinya.

(BuRuLi, LeBul: 23.02.2004)



Monday, February 23, 2004

Aku dan Tuhan

Aku dan Tuhan. Diam-diam berkenalan. Ia memanggilku. Aku mendengarnya. Suaranya lucu. Aku tertawa. Ia gembira.

Ia melambai. Aku melambai. Ia mengangguk. Aku mengangguk. Tuhanku mengedipkan mata. Aku tidak bisa. Aku kembali tertawa. Ia bahagia.

Tuhanku melirik. Tanganku ditarik. Sini! Katanya. Kesini lebih dekat lagi kalau kau ingin Kuajari. Aku menegang! Kupingku jadi panjang. Sebab aku sering tidak mendengarkan.

Aku dan Tuhan berpandangan. Itulah! Kata-Nya! kau rugi sendiri, karena tak juga mengerti!

Aku dan Tuhan bersebelahan. Aku diam. Dia tidak. Masih dibisikkan-Nya kepadaku. Ke dalam telingaku. Sesuatu. Masuk ke hatiku. Nyungsep disitu. Katanya:

"Sudahlah. Aku selalu ada. Kau tau kan Aku dimana?"

Ah. Aku jadi malu. Tuhan bilang seperti itu.

(BuRuLi, LeBul: 22.02.2004)
Aku dan Piglet
: rww

Lalu kitapun tertawa. Ngakak. Perut jadi kaku. Luka terasa lucu. Sebab cerita kita mengalir. Begitu saja. Kita liarkan meraka. Ceburkan ke dalam kolam. Biar jadi santapan ikan!

“Aku” katamu, “Aku adalah piglet… dan kau adalah Pooh. Di kepalamu yang bebal ceritaku jadi membal.”

Ha ha ha!

Aku tertawa. Kau tertawa. Ngakak. Sampai suara kita terdengar serak. Mata kita segaris, bibir kita meringis. “ Kau” katamu, “Kau adalah Pooh…Beruang madu itu… Maka tampunglah ceritaku! Biarkan melebah! Biarkan mewabah! Biarkan saja!”

Lalu kitapun tertawa. Sambil menyusut airmata.

(BuRuLi, LeBul: 22.02.2004)




Titip Surat Lewat Randu! Surat Buat Para Hantu!
:kalian!

Ndu!
Dadaku ngilu.
Rindu kerumunan hantu.
Rindu cerita-cerita itu.
Rindu kau.
Gilamu.
Perempuan yang kebakaran selalu.
Sajakmu.
Lagumu.
Gitar maut itu.

Jazz di malam hari.
Cecil Mariani.

Duh!
Aku rindu rukuku Paman Idamku.
Arwan dan pijatan mujarabnya.
Agung dan celotehan parahnya.

Rindu Mas Pinang dan dongeng malamnya, Ompit dan petualangannya, Ninus lucu dan Yulie Si Pemalu.

Dimana Nanang?
Diamana Aang?
Dimana Sam, Mbak Nonny Indah dan semuanya?
Dimas dan semua lagu yang tak juga ketemu nadanya?

Aku rindu Mahdi, yang menginap semalam dan demam tinggi. Bleem yang tak berhenti menasihati. Thanding Sari yang tak pernah mati. Onoy dan Momoy yang pernah mampir pada suatu hari…

Paman Njibs, Visnu dan tentang catatan sekilas waktu.

Aku rindu malam-malam itu.
Pembacaan-pembacaan puisi itu
Bang Saut dan puisi jembut
Sihar yang gahar
Katrin yang besar

Aku rindu, Randu!
Rindu sampai ngilu
Suasana Rumah Hantu…

· Hampir lupa satu nama: Qizink la Aziva!

(BuRuLi, LeBul: 22.02.2004)


Sunday, February 22, 2004

Riangkan Hatimu Sejenak, Diriku Sayang!

Maka pejamkanlah matamu, diriku sayang. Sebutkan Tuhan dalam dadamu yang hampa.

"Tuhan!"

Sebutkan saja namanya!

Ia akan mengerti.
Ia selalu mengerti.
Bahasamu.
Bahasa bisu jiwamu.

Basahi dada-Nya!
Basahi dada-Nya!

(Ia datang, menepuk pundakmu, memelukmu. Diam. Diam membawamu kepada-Nya. Tenang. Demikianlah. Asal kau percaya)

(BuRuLi, LeBul:21.02.2004)

Thursday, February 19, 2004

Mari balajar berpikir positip.
Positip tapi sakit.
Positip tapi luka.

Pasti ada makna dalam semua peristiwa, kan?

-Hueks!-


*Sungguh susah bicara dengan orang dewasa...
-pangeran kecil-
YUP!

Aku nggak akan nangis, kok!
Nggak sekarang.
Nggak! Nggak! Nggak!
Nggak buatmu nggak buatku.
Nggak hari ini.
Setidaknya bukan sekarang.
Nggak disini dan nggak hari ini!
Nggak lah.

Lebih baik memikirkan kemungkinan menanam benih kelapa sawit di bulan. Lumayan, kan?

Ha ha.

Hiks.

(Padahal aku sampai nggak bisa ngebedain lagi mana iler mana airmata basi. Baunya sama. Bentuknya sama. Sama-sama bikin busuk bantal kita. )

Hiks.

Ha! Ha!

(Flai mi tu de mun… ame bejo ame mumun…)

(BuRuLi, LeBul: 19.02.2004)



Sebagai kaca meretak jiwa
: MIS

Berusaha memahamimu.
Diam aku memeluk lukaku.
Sendiri.

Akulah perempuan bodoh itu.
Mengaca pada batu.
Mencintai seonggok ragu.

Diam.
Diamkanlah aku.
Supaya aku tak lupa nikmatnya hening.
Supaya aku tak takut kembali membening.

Cair!
Cairlah engkau hati membeku.
Kembalilah jadi embun.
Memerciklah engkau seperti dulu.

Ya.
Diamkanlah aku.
Supaya aku ingat bersyukur.
Bahwa pernah diberi umur.

" Yang sebentar itu.
Bersamamu"

(Menangis. Menatap langit. Diantara yang berjuta itu aku adalah satu. Tapi dia adalah kejora. Dan aku bukan apa-apa.)

(BuRuLi, LeBul: 18.02.2004)

Tuesday, February 17, 2004

Foto Mantanmu

Foto mantanmu nyengir. Ramah kepadaku. Aku serba salah. Mau marah atau tidak? Mau marah gengsi. Dia datang pertamakali. Aku adalah tamu. Bagitulah aku di dadamu.

Foto mantanmu matanya tajam. Mau apa kau dengan dia?! Begitu kira-kira pertanyaannya. Aku harus menjawab apa?. Mau mancoba kemungkinan. Bagi diriku sendiri. Setelah dia gagal denganmu? WAKS!

G I L A !

Pasti. Aku sudah gila. Duduk manis disini. Bersama foto mantanmu. Bercakap-cakap tentangmu. Membayangkan berbagai kemungkinan. Seandainya dia masih bersamamu. Lalu?

Foto mantanmu nyengir. Ramah kepadaku. Matanya bening. Bening bercerita. Tentang telaga. Yang dulu di arunginya. Berdua. Denganmu.

Foto mantanmu nyengir. Ramah kepadaku. Matanya bening. Mataku dingin. Basah disitu.

-BuRuLi, LeBul: 17. 02. 2004-


SAKIT

Kenyataannya aku harus belajar berdamai dengan noda darah pada kain tempat aku mulai lagi belajar menyulam.

Seperti tempe yang menggantikan keju pada lipatan keping rotimu. Enak. Tapi bukan pilihan pertama.

Aku ini seperti jagung kepada padi. Kau akan selalu membutuhkan nasi, bukan? Laparmu takkan pernah terpenuhi.

Olehku.

-BuRuLi, LeBul: 17.02.2004-

Monday, February 09, 2004

Apa Maksudmu, Perahu Kayu ?!


Apa kau siap berlayar?

Kau melambai menawarkan kamar. Menawarkan mimpi. Menawarkan cerita musim semi dan selimut hangat di malam hari.

Apa kau siap berlayar?

Kau tidak lengkap. Alat Navigasimu kacau. Kau bahkan tak punya kompas. Arahmu tak jelas. Dalam pelayaran percobaan kemarin aku ketakutan. Hendak kemana kita?

Aku sempat diam. Diam memikirkanmu. Sebuah kamar demikian merayu. Aku lelah. Ingin menitipkan diri. Ingin berbaring. Disini. Disini.

Lalu aku tertidur. Sejenak. Menikmati ayunmu. Nina bobo nan merdu. Aku mimpi indah. Terlalu indah. Sampai pada waktunya. Aku terbangun. Teringat tanya: “ Hendak kemana kita…? “

Apa kau siap berlayar?

(BuRuLi, LeBul: 09 Feb 2004)
Membaca Memang Berbahaya!

Itu benar. Bahwa kita bisa jatuh cinta setengah mati pada figur yang tak kita kenal hanya karena satu kata: MEMBACA

Setelah kita membaca tulisannya, lantas merasakan getar dalam dada.

Sial.
Ha ha.
DENDAM

Ada sebuah bara. Membuatnya jadi tenaga luar biasa. Aku harus bisa! Aku harus bisa!

A k u t a u a k u b i s a !

Tinggal tunggu waktu. Kau lihatlah.

K a u!

L I H A T L A H O L E H M U!

Nanti.
Nanti. Pada suatu hari.

Sunday, February 08, 2004

AKU LELAH!


Aku merasakan lelah.
Lelah sejati.
Lelah berlari maupun berhenti.
YANG TERJADI HARI INI ADALAH

Gumpalan hormon yang mengamuk minta didengarkan. Berusaha mempercayai perasaan yang tak bisa lagi dipercayai. Berusaha memintal agar waktu menjadi sedemikian berarti.

Berusaha bertanggungjawab, memaafkan dan jujur kepada diri sendiri.

Berusaha untuk tidak menyesali.

Berusaha untuk mengerti: Apa Yang Telah Terjadi Hari Ini.

(Kepada diriku sendiri: KAU HARUS LEBIH BANYAK BELAJAR LAGI!)

Wednesday, January 28, 2004

Bulu Ketiak

Bulu ketiak keriting njegrik dari bawah pangkal lenganmu , protes akan ketidak adilan. Kata mereka:

“Kau kira tidak tesiksa berada dibawah kempitan pangkal lengan berat dan berair ini, jadi pangkalan bakteri dan sering dituduh sebagai sumber bau ?”

O, bulu ketiak! Sempat kupikir kaupun pasti merasa iri pada nasib bulu mata, alis apalagi rambut yang sempat merasakan sentuhan tangan-tangan lentik meluruskan ataupun mengikalkan mereka, memotong dan mencabuti kemudian hasilnya buat dipamerkan.

Yap! Belum pernah ada yang memamerkan dengan bangga hasil pencabutan bulu ketiaknya pada masyarakat luas. Dan tidak pernah ada tren model bulu ketiak kecuali saat Samson jadi juara. Bulu ketiak gondrong maha sakti. Cuma milik Samson, bukan?

Bulu ketiak melakukan peregangan, berharap hasilnya akan seindah hasil rambut yang di re-bonding. Tapi alih-alih menjadi lebih lurus malah jadi semakin keriting, merasa stress, dibekap dibawah pangkal lengan penuh keringat. Ah, nasib katanya. Teringat pula pada nasib kawan sesama bulu…

“ Sampai sekarang aku masih memikirkan, apa sih maksud-Nya aku ditumbuhkan disitu? “

Maaf. Tapi aku bukan ahlinya!

(BuRuLi, LeBul: 28.01. 2004)

Monday, January 26, 2004

Bayi Perempuan yang Tak Pernah Diinginkan

Ya. Ibuku bidadari. Matanya tajam seperti elang. Aku tidak. Aku bukan mahluk menakjubkan seperti dia. Aku Cuma bayi perempuan biasa. Iapun malu melahirkan aku.

Bidanku seorang raksasa. Dua taringnya menghujam dunia. Ia tinggi besar dan hitam. Kau akan takut kecuali kau kenali sinar di matanya. Ada matahari hangat terbit disana. Ia basuh mukanya dengan darahku. Darah anak bidadari yang ingin membuang bayinya. Makan saja bayi itu kalau kau mau! Kata ibuku.

Raksasa itu menangis. Ibuku menangis. Dua tangisan yang bersamaan dengan alasan yang sama sekali berbeda. Ibuku mengharapkan seorang pangeran mengoek dari perutnya. Ia benci mendapatkan bayi kecil mirip babi. Demikian kukira ibu bidadari itu mengenangku.

Raksasa itu menangis. Tak seorang jantanpun meminangnya. Tak seorangpun bayi lahir dari rahimnya. Ia menangis. Ada mahluk mungil dihadapannya. Ia tersinggung disangka demikian buas. Seandainya ibu itu bukan bidadari, maka dialah yang akan dibunuhnya!

Aku masih ingat bagaimana rasanya melayang dipangkuan Sang Dewi Raksasa. Bau mulutnya yang khas. Suaranya menggelegarkan kidung cinta. Tidurlah anakku. Puteri Dewi semanis madu. Tidurlah di hangat dadaku…

Mataku basah. Basah oleh airmatanya. Airmata Dewi Raksasa yang perkasa. Ketika bidadari itu pamit hendak terbang pulang, Dewi Raksasa berkata:

“Aku tak akan pernah berterimakasih, atas kudapan segar di genggamku ini. Juga takkan berterima kasih karena telah kau lempari aku segumpal cinta bermata jernih. Makan saja sendiri olehmu kenangan biadab ini. Kau akan kehilangan dia sampai mati! Kau tak suka bayi perempuan? Hanya mereka yang bisa sungguh-sungguh menyelamatkanmu!”

Perempuan tua cantik itu kini terbaring di atas peraduan beledu. Ibu Dewi Raksasa berdiri di depan gapura, setia menungguku. Nak, kata ibu dewi gagahku itu. Jenguklah ia. Ia sudah sengsara terantuk dosa. Bidadari tua gila. Ia tidur disana duabelas tahun lamanya. Sendiri. Sendiri menghitung sepi…

(BuRuLi, LeBul: 26.01.2004)

Sunday, January 25, 2004

The Most Unwanted Baby is Me!

The most unwanted baby is Me!
They put me under the tree, wished a hungry tiger eat me.
You know?
My mom is an angle.
Her eyes just like eagle's.
I am not.
She hates me so.
An ugly baby girl just a nightmare for her.

Yes.
She hates me.
She does.
She is an angel.
Her eyes just like eagle's.

I am not.

(BuRuLi, LeBul: 25.01.2004)

Saturday, January 24, 2004

Dzing!!

Lepaslah engaku, anak panah! Lesatlah engkau mendesing mengangin.
Menancaplah engkau!
Pada pusaran waktu yang kau cintai
lalu jadilah engkau puisi

(BuRuLi, Tarutung: 25.09.2003)


Sajak Buat Beatrice

Engkau matahari
Hangat yang tetap
Pagi yang tak pernah berhenti
Pipit yang bernyanyi
Debur yang tak pernah sunyi

Semoga kau jadikan ini rahasia bintang diantara kita
Kecil dan menyala

(BuRuLi, Medan: Octo 2003)


Catatan Buram Menjelang Pulang
: G

Lalu kutangkap bayangan sedih dalam cermin beningku sendiri
Demikian sepi cahaya mata
Energi yang tak lagi mengalir
Kata yang terhenti

Aku ingin memelukmu! teriakku
Tapi tak ada kekuatan disitu
Memeluk diri sendiri di sudut kamar
Mati membeku
Sekali lagi, tak ada energi disitu!

Aku telah letih, bahkan untuk sekedar belajar mengerti...

(BuRuLi, Medan: 2003)


Pulang!

Mengulang kembali rute kamar, ruang tamu, teras, taksi kemudian bandara.
Boarding, take off, landing, taksi lagi dan... rumah!

Aku pulang!

Rumah, pagar, ruang tamu, garasi, anjingku, bibiku, senyuman, pelukan dan ciuman...


Aku pulang!

Ah!

(BuRuLi, Medan: 10.11.2003)


Sajak Buat Gaby

Gerhana Aku Bersama Engkau
Galau Angan Berjumpa Esok
Gundah Akhir Berujung Entah
Gelisah Angin Berhembus Enggan


(BuRuLi, LeBul: 21 Nov 3003)


Friday, January 23, 2004

NEON SIGN


puisi ini tak seharusnya dituliskan pensil diatas kertas
melainkan dengan neon di atas nyala langit seperti las vegas
benderang dalam pendar pendar gas
di liuk tabung tabung berwarna
untuk segenap kota membaca

lihatlah puisi kita!

yang digores diatas cahaya cahaya neon kota
tentang waktu yang gagal memaksa
tentang kita
yang tak mampu memecah langkah ke arah berbeda
terpaku di sebuah silang
atas nama cinta


Idaman,Arwan,bungarumputliar,Cecil,Sudaryanto,Aglisius
31 maret 2003, 11.34 pm
tepian jalan kemang

Monday, January 19, 2004



Pada Suatu Pagi

Pagi yang sepi
Diam adalah badai
Hatiku berteriak
Sunyi pada telingamu

(BuRuLi, Tarutung: 23.9.2003)
Rumah Singgah

Aku adalah rumah singgah
Tempat kau titipkan luka dan harapan
Sepanjang ingatanku tak jelas lagi bagi kita
Anta tangis, doa dan tawa
Semua teraduk
Antara meja, kursi dan dapur
Lalu kasur

Aku adalah rumah singgah
Tempat kau tumpahkan segala resah, amarah dan darah.
Tempat kau menandai hari
Kemudian pergi.

(BuRuLi, Medan: 21.09.2003)
Hujan Malam

Hujan membelah malam menjadi rindu.
Sebagian lekat di pelupuk mata membayang mengaca.
Lekat asin mengaliri pipi menuju bibir lalu lenyap sebagai bisu.
Hujan malam menggambari bumi dalam sendu.

(BuRuLi, Medan: 20.09.2003)
Mencintaimu Angin

: Mas Par =P~~

Mencintaimu angin
Menikmati datang dan pergimu
Membiarkanmu terus berhembus
Ada rindu yang berputar membadai
Kubiarkan saja ia tetap menjadi

Sampai cinta terdampar entah dimana
Jatuh ke tanah sebagai apa
Tumbuh atau binasa?

Mencintaimu angin
Mendengar derumu

Dingin

(BuRuLi, Medan: Sept. 2003)
Kepak Luka Kupu Muda

Kepak luka sayap kupu terjepit rumpun bambu.
Jeritnya tertiup angin.
Pedih menyerpih tergesek daunnya yang melayu.
Ssst! Ia telah mati!
Desis ular menyanyi.

BuRuLi, Medan : 18.08.03/ 00: 30 WIB

Thursday, January 15, 2004

Sajak Tentang N

N adalah puisi
Puisi itu sendiri
Bersama N penaku melaju
Kata tumpah
Ruah ide menjamur
Merah memenuhi ruang

N adalah rindu
Rindu itu sendiri
Bersama N sunyi adalah indah
Malam adalah kenangan
Hujan adalah impian

Kemana N?

Pada suatu hari ia pamit
Puisi tumpah di dadanya
Ia telah temukan sepasang pijar
N pun mulai menepi

Dadah, N!
Seputaran waktu penaku jadi mampat
Kehilangan sesuatu bernama N
Imajiku ngadat layu tak berfungsi

Apa kabar,N?

LeBul: 14.01.2004

Wednesday, January 14, 2004

Ini Musim Kawin


Sekarang musim kawin. Seperti burung mereka bertengger sumringah di pelaminan. Kacamata yang dilepas sementara. Lensa kontak pendar indah di pupilnya.

Rukukukuuu!!

Lalu lagu "nungging ngeden, nungging ngeden ..." begitulah bunyi klenengan jawa kata temanku. "Titilono, titilono, ndang emplok'en ndang emplok'en"

Lalu ibu-ibu lain mulai teringat. Gadis-gadis mereka yang jomblo. Ada yang gelisah, ada yang biasa-biasa saja (aktingnya). Para ayah merenung: "Wah! mahalnya menikahkan anak kita!" Para bujang lelaki mulai memikirkan repotnya memenuhi permintaan keluarga para gadisnya. Dasar perempuan! Merepet sekaligus bermimpi para lelaki.

Dukun manten puasa. Gadis-gadis penerima tamu dipaksa bermekap. Konde gede-gede. Jalannya terancam nyungsep. Lelaki-lelaki jelalatan: "Pas, susunya!"

Itu pesta perkawinan. Pesta mendebarkan panitianya. Katering yang nggak bertanggung jawab. Kambing guling pesan tiga ekor kok cuma kelihatan senampanan saja? Musik yang terlalu ribut. Para tamu jadi sulit ngerumpi.

Anak-anak muda: "Bisa nggak ya, dapat pacar di pesta ini?"

Ini musim kawin. Mereka bilang yang jadi keluarga besar lebih repot ketimbang mempelainya. Kita mah cuma butuh akad saja. Modal sedikit lalu... Hehe, maaf. Ini cuma urusan berdua. Tapi tak ada yang bisa memungkiri, para mbah mungkin sakit hati kalau upacara tak dilaksanakan sedemikian rupa. Para ayah malu dianggap nggak mampu. Para ibu ingin mengenang masa lalu. Ladalah!

Haha!
Selamat kawin yang mau kawin. Semoga sukses saat akad, pesta dan seterusnya. Soale sempet ada yang setres karena mempelainya mau pingsan keberatan hiasan kepala. Setelah pesta jangan jadi layu. Masih banyak yang harus dikerjakan, bukan?

Kemudian kepada mantan pacar, mantan gebetan dan selingkuhan: "Mohon maaf lahir bathin. Doain selamet, lho!"

salam sayang: BuRuLi


## buat: para sodara dan sahabat yang mo kawin: tita, yuni, dan setiyo.
AKU MARAH! MARAH PADA DIRIKU SENDIRI!!

AKU TAHU KALAU AKU HARUS BERHENTI DAN BEGITULAH SEHARUSNYA!
DEMIKIANLAH AKU MENGERTI
DEMIKIANLAH AKU TAK DAPAT BERHENTI
LOGIKA YANG BERKHIANAT DI KEPALAKU
EMOSI MASIH DEMIKIAN SAKTI

AKU MASIH KALAH!
KALAH OLEH PERASAANKU SENDIRI!
AKU MARAH!
MARAH PADA DIRIKU SENDIRI!

(andai bisa kuludahi muka...)

Monday, January 12, 2004

Gaby? (1)

Lalu aku mengenangmu diam-diam. Mengemasmu rapih, menyimpan segala data dirimu diantara ribuan data lainnya. Namamu kutulis biru hampir hitam. Perpotongan warnaku dan warnamu? Entah. Sesungguhnya belum pernah kita bicara sampai pada lembaran warna kita masing-masing.

Aku adalah orang asing bagimu. Orang asing dalam arti yang sebenar-benarnya. Apakah kau tahu apa saja yang sanggup membuatku menangis? Tahukah kau siapa tigger dan elmo?

Aku bahkan tak pernah tahu nama ibu dan ayahmu kecuali marga yang mentereng di belakang namamu. Kau anak nomor berapa dari berapa bersaudara? Rokokmu apa?

Gila. Kadang-kadang kita sungguh mencintai kabut sedemikian rupa. Badai tak sanggup membuat kita membenci laut. Terbuat dari apakah sepotong benda bernama hati?

Takkan pernah ada penjelasan. Hormon selalu bergerak lebih cepat bahkan dibandingkan kilat. Waktu adalah debu dilipatan segala impian. Tak usah lagi kita bertanya. Demikian barangkali kita putuskan dalam diam.

Lalu engkau mengingsutkan aku dari ingatan. Demikian cepat kau sapu bersih segala kenang. Benarkah semuanya hanya sebuah kesalahan? Bagimu?

Gaby?

Saturday, January 10, 2004



Selamat malam!

Hari ini perempuan kelapa dilibat gaun tidur panjangnya. Merasa baru dan segar sekali. Sudah lama perempuan kelapa tidak bersemangat dan tidak mengerti bahkan pada sebentuk perasaannya sendiri. Sudah lama ia merasa segalanya berhenti pada satu titik dan seperti tak hendak bergerak lagi. Perempuan kelapa pernah merasa seperti perempuan mati. Mati dalam keadaan bernafas dan itu lebih buruk. Hendak kemana kau? tanya orang-orang. Perempuan kelapa diam. Ia belum bisa menjawabnya. Tidak sekarang. Belum saatnya. Jawaban itu masih menggantung di langit. Sekarang ia hanya merasakan semangat saja yang sudah mulai lagi panas baranya.

Hm!

Aku ingin menggeliat nikmat seperti ulat hendak menjadi kepompong hendak menjadi kupu-kupu! Merasakan kekosongan di padang luas selama ini ternyata menimbulkan kebosanan juga. Aku merindukan pertempuran ide pada sebuah sidang dimana aku bangga menepuk dada kemenangan atau mencaci maki penuh semangat pada apa yang tidak kusukai. Hidup sungguh bermakna ketika engkau bangun pagi dengan sebuah rencana jelas di kepala! Aku merindukan hari-hari itu. Merindukan ledakan obsesi di kepalaku. Merindukan impian yang meruah tumpah keluar dari kepala dan bersinar indah pada mata. Barangkali aku memang sedikit narsis. Tak pernah merasa buruk rupa di depan kaca kecuali bila kepalaku terasa hampa tanpa rencana-rencana. Sesungguhnya aku perempuan bombastis! Ha ha!

Hari ini aku selesai membaca sebuah buku. Kemarin aku sudah membaca bahkan dua kali buku yang sama. Tak ada satupun buku berbau akademis, jenis buku paling membosankan sedunia. Tapi aku merasa belajar banyak. Sebegitu aku merasa benci kuliah duduk tenang di bangku dan mendengarkan saja celoteh atau ceramah atau pidato atau apalah. Dan aku tidak pernah merasa lebih pintar sekeluar dari ruang kuliah, tapi aku yakin menjelma jenius setelah menghabiskan buku-buku "pelajaran itu". Aku pelajar jalanan. Kupikir itu benar. Aku akan menjadi sarjana tanpa sertifikat. Sejujurnya aku sedang berusaha berdamai dengan segala sistem ini hingga aku mau menjadi seorang mahasiswa lagi dan mengikatkan sedikit bagian diriku pada peraturan-peraturannya. Tapi aku memilih tempatku sendiri. Universitas terbuka. Ha ha!

Begitulah!

Begitulah aku bangkit kembali dari kuburku selama beberapa waktu. aku sempat mati suri, terbunuh oleh segala kesedihan yang sebetulnya hanyalah konsekuensi dari sebuah petualangan. Tapi aku tumbuh sedikit lebih berbeda dari sebelum keberangkatanku. Kupikir itu baik. Kalau kita memang merasa sudah saatnya berubah, kenapa tidak?

Bagaimana menurutmu? Apa kabar dirimu sendiri? =).

Sunday, May 18, 2003



Tik Tak Tik Tak Tik…
: Mr. C

Ada yg bertanya padaku, kenapa aku selalu bicara tentangmu pada puisiku. Kujawab karena aku sedang ada bersamamu dan barangkali sekarang hidup padamu. Disaat tak ada orang di tanah yang sama yang dapat kuajak bicara pada detik hatiku tumpah meruah, ada seseorang padamu, didadamu menjenguk ia keluar jendelanya dan menyapa : Hai! Katanya. Kita hidup di dunia khayal! Yap! Barangkali ia benar.

Apa mau dikata?

Kasihan kau!, kata seseorang kata ayah kata ibu kata sanak saudaraku kata orang –orang lalu lalang yang bahkan tak berhenti dan memandang mataku dan bertanya: Ada apa disana? Ada sepi, kataku. Ada sepi sesepi tanah yang kuinjak sendirian dibumi. Ada orang-orang yang menertawakan kesepianku juga kesepiannya sendiri. Ya, kasihan kita! Barangkali itu benar.

Apa mau dikata. Bila semu masih menjadi hukum disini. Mutlak. Harus. Segalanya serba setengah. Setengah kenal, setengah kawan, setengah kekasih…Tuhan!

Aku ingin bermain-main saja disini. Menemukan sesuatu kemudian membawanya pulang ke tanahku. Tanahku! Bumi yang sungguh dipijak dan bunga-bunga bermekaran di atasnya. Orang-orang berkasih-kasihan dan beranak pinak. Sungguh ada sesuatu yang bisa kau genggam kau peluk dan kau baui padanya. Hidup. Aku ingin membawanya keluar darimu dan membiarkannya tumbuh disini. Nyata diantara tanah air dan api.

O, ya. Kemarin telah kulemparkan cinta dan amarah dan kemudian yang kudapatkan hanyalah lelah sebab tanah elektronika tak pernah menjanjikan apa-apa bagi penghuninya. Ini adalah cerita kesekian ribu dari kesekian ribu pencatat sebelumnya. Sungguh kenangan akan duka dan ceria bisa kau cetakkan pada kertas lalu kau tempelkan pada langit-langit rumahmu. Baca. Dan renungkanlah sendiri. Olehmu.

Katanya!

(BuRuLi: Lebul, 15.02.03)


Sunday, March 09, 2003



Seharusnya Dialah Sang Lentera!

Ada sesuatu yang siap meledak seperti petasan dalam dadanya!
Gong Xi Fa Cai! O!
Bulan terang merah cerah dirasakannya buruk seperti manisan kadaluwarsa!
Ada airmata diantara tarian naga yang sedang dinikmatinya
Asap hio mengabut tak lagi menyiksa
O, cahaya! Cahaya!
Ada cinta yang mengintip sia-sia dibalik topeng singa!

(Hio itu masih menari, doapun mengasap wangi)

O, cinta?cinta?cinta!

(BuRuLi, LeBul: 28.01.03)





Thursday, February 27, 2003



Bila malam ini bulan setengah, mungkin lusa akan purnama!

Demikianlah kugali hariku. Sendirian. Sepi? Barangkali. Tapi selalu ada lubang untuk keluar dari himpitannya.

Kemarin kulihat bulan setengah di atas atap rumah. Lebih indah bulan sabit, kataku. Belajarlah bersyukur, katanya. Dia benar.

Hampir kukemasi barangku. Pergi. Pindah. Kemana? Entahlah. Waktu selalu menyisakan tanda tanya. Sebab aku sendirian? Barangkali. Tapi bukankah selalu ada cara? Ada yang selalu menyapamu dari dunianya!

Dunianya?
HAH!
Bukan duniaku!
Catat.
Dan aku tetap.

Demikianlah kugali hariku. Sendirian. Sepi? Memang. Tapi tak jadi kukemasi barangku. Aku akan tinggal. Sungguh? Ya. Sungguh. Dia memang benar.

Kemarin kulihat bulan setengah di atas atap rumah. Malam ini tiga perempat. Berarti besok purnama! Aku akan tinggal lebih lama.

(BuRuLi, LeBul: 03.02.03)


Ini aku, sedang bercinta dengan sepi!

Kesepian membuat jariku, hatiku, jiwaku, ragaku, semuanya menari pada papan-papan kunci bersatu dalam irama riuh seperti pesta pedih sendirian

Tangis dan tawa bercampur segala kenang segala harap segala godaan dan cobaan berbaur berlompatan sebagai baris-baris yang memekakkan

Sekali lagi,
Telingaku sendirian…

Kemudian kubisikkan keluhku pada dawai-dawai mati yang teronggok disudut ruangan…O, aku merindukanmu!

Triiing!
Ting…ting…ting…jreng!
Rat tap tap!

Habis irama lelah kuketuk keduanya
Bila bisa menjeritlah ia terjambakku, terpukulku, teremas terempas-empas emosiku ganas
JDUG!
Oh…

Begitulah!
Tak lagi kau miliki harmoni
Lelah mencampakkanmu dari simponi
Blues!
Begitulah terbakar jari!


(BuRuLi: LeBul: 14.02.2003)


Maafkan aku, Heliana!

Kan kuganti paru-paruku juga wajahku demi engkau, Heliana! Seumpama diizinkan Dia kan kulakukan segera semuanya untuk kita! Maka takkan ada lagi wajahmu penuh tanya dan desah nafasmu panjang harapkan adaku disana...

: “Kenapa?!”

Ya,
Segenap tanya yang mengendap dalam kepalaku juga

: “Kenapa...”

Kenapa udara enggan melesak dalam dada hingga harus kutinggalkan engkau meronta dalam singgasana sendirian, engkau adalah raja yang terjepit sebab harus selalu mengampuni aku...

Aku tahu, Heliana...mereka telah mulai memojokkan kita! Sebab aku adalah setan yang kau bolehkan datang dan pergi sekapan suka sebanyak udara yang dapat mengembangkan sayapku kesana!

Maka maafkanlah aku, Heliana!
Telah kupaksa engkau menjadi manusia lebih daripada hanya seorang raja!

(bungarumputliar, LeBul: 22.11.2002)


Monday, February 24, 2003



Puding Di Kepalaku


Ide-ide yang meluap telah meruah tumpah!
Dari kepalaku yang isinya seperti puding coklat legit meluncur potongan-potongan yang lengket seperti sirup rasa jeruk di lantai taman kanak-kanak
Puding dan sirup yang manis dan enak
Tapi bayangkan bila letaknya di telapak kakimu…



Ada kalanya kanak-kanak lebih pandai menyelesaikan masalah seperti ketika ia bermain dengan alat rias di kamar tidur ibunya saat jam-jam si ibu bekerja dan ia tidur siang. Begitulah ibu begitulah ia. Apa yang kau takutkan? Bilang saja kalau dia ingin cantik seperti ibu! Ia percaya. Sangat percaya: Ibu mencintainya!



Tapi puding coklat di kepalaku terancam kembali mencair. Mambutuhkan lemari pembeku untuk memepertahankannya dari panas yang melanda. Apa boleh buat. Katakan padaku: Apakah masih bisa kita percaya seperti anak pada ibunya?



Ada waktu-waktu dimana engkau begitu malas membagikan puding enak dari kepalamu itu. Begitupun aku. Kadang-kadang kupikir harus kusimpan sebagian besarnya untuk cadangan makan malam. Bukan diet yang sehat, memang. Tapi sekali lagi semuanya memang bergantung kepada keadaan. Kita bukan kanak-kanak yang makan, mandi dan tidur secara teratur sebab jasa ibu dan bibi pengasuh.



Tentang puding coklat dikepalaku, hari ini aku membuat fla yang barangkali lebih enak dari hari kemarin. Ada resep baru dan aku sedang mencobanya . Lebih bergizi dan dibuat dari bahan-bahan yang lebih terpilih. Mau mencicipi? Sebentar. Setengah jam lagi!



(BuRuLi: Lebul, 24.02.03)





: Senin Pagi


Lalu kubayangkan engkau duduk dalam gerbong kereta
Sendirian
Menghadap jendela setengah pecah
Kemarin ketika ada batu dilemparkan padanya kaupikir dirimulah sasaran tembakya
Padahal, t i d a k !
Mereka sedang lempari kesedihan mereka sendiri
Frustasi pada diri, lantas melukai
Dan...
Hei, katakan padaku!
Apakah engkau mengingatku?
Saat kau pandangi ladang kering dengan kebau di atasnya?
Demikianlah harum rumput yang pernah kau endus dariku yang tiba-tiba menghilang dan kau rindu. Kau tanya aku sore itu: Sudah tak wangi lagi? Ingin kusimpan jari agar tak usah kau ciumi lagi : sudah kering! kataku.



Lalu kubayangkan engkau duduk berhadapan dengan seorang wanita. Cantik. Muda. Sendirian. Susah payah kau ingatkan diri bagaimana caramu telah pergi dan kemana engkau akan. Maka kerling dan sapa yang kau simpan sebagai pusaka itu kau timang di hadapannya. Belai kau simpan rapat dalam kotaknya. Sebab belai adalah milik kota tujuan kalian berdua. Sekian jam dari Jakarta? barangkali. Tapi apa guna bibir bila tidak untuk tersenyum dan mencium? engkau tak suka menyanyi katamu. sudahlah. Biarkan orang melakukannya untukmu.



Lalu kubayangkan engkau turun dari kereta. Hati yang telah kembali utuh. Tak ada apa-apa di Jakarta! yakinmu. Jakarta adalah bayangan. Bahu-bahu yang bergoyang. Rambut-rambut panjang menawan dan kaki-kaki yang indah. Tapi sekian jam dari Jakarta adalah harapan berikutnya. Tak akan ada yang berubah! katamu waktu itu. Ya. Dan aku tak percaya. Hanya akan ada sekantong penuh tanggung jawab besar katamu dan itu cukup untuk membuntukanmu! kataku. Teriakku. Tangisku. Entah.



Aku merasa aneh. Pada diriku sendiri. Perasaan iri kepada cinderella di kotamu. Cinderella yang telah kau temukan sepatu kacanya. Cinderella yang memenangkan sayembara. Sesungguhnya aku tak pernah tahu apakah engkau sungguh duduk di kereta ataukah sebuah bis antarkota. Hanya saja engkau pergi. Sudah. Begitu saja. Selembar surat terselip di engsel jendela: " jangan menulis puisi sedih! " Aku berjanji. Maaf! Hanya bisa kutepati untuk satu hari.



(BuRuLi: LeBul, 24.42.03)




Saturday, February 22, 2003



Blues Para Hantu

Buzz!
Siapa namamu?
Bungarumputliar! Jawabku.
Kenapa bungarumputliar?
Kenapa tidak?

Tiketaketik! Detik dan menit kemudian jam. Sendirian? Tidak juga. Ada seseorang diseberang sana, dibalik layar kaca. Kubayangkan ia tinggi, lebih tinggi dari aku. Barangkali aku hanya sebahu. Asik. Aku tersenyum. Entah dia. Aku perempuan. Kamu laki-laki?

Aku laki-laki! Katanya.
Aku tersenyum lagi. Sudah kuduga. Nada-nadanya yang setengah itu. Blues. Milik laki-laki.

Kamu laki-laki juga? Tanyanya tiba-tiba.
Aku tertawa. Barangkali dia tidak. Barangkali dia kecewa meskipun aku tidak. Sebab aku sungguh-sungguh perempuan dan katanya dia sungguh-sungguh laki-laki. Sudahlah. Kalau dia tidak percaya juga tidak apa-apa. Bukan salah dia. Bukan salah siapa-siapa. Dan aku siap dengan padam sumringah kuningnya. Wajar. Boleh dan sah. Aku menarik nafas. Barangkali dia juga.

Blues. Nada-nada yang setengah terengah. Malam yang sesungguhnya sepi ramai pada layar. Ketakketik tawa. Ada gambar senyum disana. Ada ciuman. Untukku? Juga peluk itu? Benar, untukku? O.

Kamu tinggal dimana? Tanyanya.
Disini. Kota ini juga! Jawabku.
Kamu?
Ya. Sama. Mau bertemu?

Blues. Biru. Ada saat ia memekikkan sayat impiannya. Ada ada dengan ini semua? Salah? Tidak. Dia siapa? Entahlah. Rupa-rupa gambar pada kepala. Putih. Hitam. Ceria atau duka. Luka atau suka. Aku siap. Entah dia.

(BuRuLi : LeBul, 020203)


Sebuah kota bernama : B

B adalah sebuah kota
Hujan mengguyuri basah
Mereka
Laki-laki
Dan perempuan
Orang-orang yang bercinta
Dalam hutan kotanya
Merana

(BuRuLi, 03.12.2002)

Saturday, February 15, 2003



Pada Sebuah Dada Hampa

Sepi itu mengingsut seperti ulat dalam dagingnya yang berdarah
Memekik-mekik memilukan sekaligus menjijikkan
Digerogotinya sel demi sel dan ditinggalkannya tinja disana
UHG!

(bungarumputliar, LeBul: 25 Nov 2002)


Itu Singgasana Palsu!

Demikianlah waktu
Telah diajarkan padamu dan aku
Orang-orang yang datang dan pergi dari hidupmu
Orang-orang yang menawarkan kehidupan lalu kematian padamu

Demikianlah sejumput rasa sunyi
Menahan diri dan hati sendiri
Menyimpan cinta dalam lemari kaca
Pandanglah dari jauh dan jangan kau sentuh dia

Tegak!
Busungkan dadamu dan banggalah dirimu
Jangan menadah cinta bersalut kenang
Jadilah dirimu sendiri dan menang!

Orang-orang yang datang dan pergi dari hidupmu
Orang-orang yang menawarkan kehidupan lalu kematian padamu
Diletakkannya engkau kedua setelah kenang
Dilukainya engkau dengan tenang

: “Jangan khawatir, kenangan adalah kenangan adalah kenangan adalah....”

Itu
Singgasana palsu!

(BuRuLi, belajar hidup lagi! LeBul: 13.12.02)


Raung, kuceritakan ini padamu !

Raung!
Aku tak takut.
Aku tahu apa yang aku kerjakan
Setajam apa Gigi setajam apa Lidah!
Aku tak takut, Raung!
Aku tahu apa yang aku kerjakan.

Sebab telah kukatakan pada diriku sendiri
: “Aku tak suka Duri! Aku tak suka Duri!”
Duri mendengarku
Duri berteriak menangis sedu
“Kau kejam!” katanya.
Biar.
Biar saja.

Dengar, Raung...
Lebih kejam lagi aku
Bila tak jujur pada Hatiku

(BuRuLi, LeBul: 14.12.02)